Kamis, 09 Februari 2012

makalah metafisika


METAFISIKA DALAM ILMU PENGETAHUAN


Disusun Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mandiri
Mata Kuliah Filsafat Ilmu

DOSEN PENGAMPU
Dr. Endang Koenmarjati, M.Pd.
Dr. Hanif Pujiati

Disusun
O
L
E
H
Iis Sujarwati
7316110147


 








PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Dasar Pemikiran
Kajian Metafisika menjelaskan studi keberadaan atau realitas yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah surga dan neraka itu ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?
Mengapa manusia perlu mengkaji metafisika? Manusia secara tidak sadar selalu memiliki rasa ingin tahu tentang asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Setiap pengetahuan yang diketahui oleh manusia membutuhkan penafsiran-penafsiran secara ilmu pengetahuan.
Bagaimana keberadaan Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan? Membicarakan realitas sebuah objek seperti adanya Tuhan, masalah adanya surga dan neraka dalam kematian, keberadaan antara dunia dan akherat, merupakan kegiatan yang tidak ada ujung pangkalnya karena masalah yang dikaji tidak dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan. Ilmu pengetahuan berupaya memecahkan masalah-masalah yang ada dengan konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis. paradigm baru, dan pemecahan masalah yang baru, serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang untuk mendapatkan jawabannya.
Bagaimana manfaat metafisika dalam ilmu pengetahuan? Keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis. Hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan, antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.

B.  Fokus Bahasan
Terkait dengan pembahasan sebelumnya yang menjadi ilustrasi bahwa ontologi merupakan salah satu aspek penting dari filsafat yang memberikan substansi keilmuan yang nyata dalam mengkaji seluruh dimensi kehidupan. Sehingga ruang lingkup pembahasannyapun menjadi sangat dalam dan luas, dengan demikian penulis mencoba menentukan focus kajian dalam penulisan ini adalah “Metafisika dalam ilmu pengetahuan“.

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk memaparkan kajian metafisika yang merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji asal atau hakekat objek (fisik) di dunia secara mendasar. Secara khusus tujuan penulisan ini untuk mengkaji:
1.      Perlunya manusia mengkaji metafisika
2.      Keberadaan Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (ontology dan epistemology)
3.      Manfaat metafisika dalam ilmu pengetahuan (aksiology)

D.    Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi seluruh pembaca guna menambah wawasan pemikiran dalam memahami metafisika secara filsafati. Sepatutnya kajian keilmuan atau wacana ilmiah yang merupakan pelajaran penting dikalangan perguruan tinggi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metafisika
1.      Pengertian Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Dimana metafisika mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah itu ‘dunia fisik’?[1] Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu satu ragam ataukah bermacam ragam? Secara garis besar, pandangan filsafat terkait dengan pokok soal tersebut dapat dikelompokan antara monisme dan pluraisme, yang baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistis ataupun materialistis.[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.[3] Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling “tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu itu mungkin ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi teori tentang realita.

2.      Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.[5] Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau disodok oleh tongkat bilyard.

B. Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan (ontology dan epistemology)
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstract.[6]sedangkan menurut Jujun S. Suriassumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif  mengatakan, ontology membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[7]
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan[8]. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Metafisika ternyata mendapat pertentangan dari beberapa ilmuan, antara
lain adalah yang menganut paham positivism. Paham positivism logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna.[9] Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[10]
Berikut adalah pendapat para ilmuwan tentang Metafisika.[11] Alfred, J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu; 1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia. 2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian. 3). Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia. Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.
 Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar, antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigm baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Sumbangan metafisika pada ilmu pengetahuan adalah persinggunggan antara metafisika dan ontology dengan epistimologi. Dalam metafisika yang mempertanyakan apakah hakikat terdalam dari kenyataan yang diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam dari kenyataan adalah materi, maka munculah paham materialism, sedangkan dalam epistimologi yang dimulai dari pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme.[12] Sedangkan berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai pandangan berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal, ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan ranah epistimologi atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu pengetahuan.
Metafisika menuntut orisinalitas berpikir yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai kebenaran yang paling akhir.

C.  Manfaat Metafisika bagi Pengembangan Ilmu (aksiology)
Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahuan bagi manusia[13]. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Pembahasan yang mendalam tentang keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan banyak wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah lebih jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis. Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu dipaparkan Kuhn bahwa kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigm ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis serta metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru. [14]
Selanjutnya Kennick juga mengungkapkan bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.[15] Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme, Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.
Sementara Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.[16] Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.[17]
Disamping itu Bakker mengemukakan bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.


BAB III
KESIMPULAN

Konsep keilmuan semestinya mengalami proses panjang dalam menemukan suatu esensi yang bernilai untuk dikaji dan apa semestinya yang menjadi kajian penting dalam suatu disiplin ilmu. Dalam hal ini memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme, naturalisme, dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya.
Kedua, Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan mencari kebenaran yang paling akhir untuk mendapatkan pengetahuan/fundamental ontologisnya dan Epistimoliginya sebagai cara yang digunakan mendapatkan pengetahuannya.
Ketiga, Manfaat Metafisika, aksiology, dalam Ilmu untuk menelaah lebih jauh konsep keilmuan yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis.








DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2007.
S. Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Dalam Persepektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Siswanto, Joko. Metafisika Sistematik. Yogyakarta: Penerbit Taman Pustaka Kristen, 2004.
Psillos, Stathis. Ebook Philosophy of Science A-Z. Britain: Edinburg University Press, 2007.
Gabbay, Dov. M, dkk. Ebook of General Philosophy of Science. Netherland: North-Holland – Elsevier, 2007.
Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher, Michigan: academie, 2007.
http://www.metafisika.html. dalam makalah imanudin, Filsafat Metafisika, 2010.
Baker, Anton. Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Wiramihardja, Sutardjo A. Pengantar Filsafat. Jakarta:  PT. Refika Aditama, 2006.





[1] Hunnex, MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher                (Michigan: academie Books, 1986) h. 15.
[2] Anton Baker, Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 1992) h. 25-26.
[3] http://www.metafisika.html. dalam makalah imanudin, Filsafat Metafisika, 2010. h. 4.
[4] Hamlyn, DW, “Metaphysics, History Of”, dalam Honderich, ed., 1993, h. 556 dalam makalah Sindung Tjahyadi, Metafisika : Sebuah Kencan Singkat di Akhir Mei 2008, h. 1
[5] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Edisi Revisi (Bandung, PT Remaja Rosda Karya, 2006),  hal.26

[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 134d
[7] Jujun S. Suriasumantri, Tentang Hakikat, dalam Ilmu dalam Persepektif  dalam Amsal Bahtiar, Filsafat IIlmu, Edisin Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011) h. 133.
[8] Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006)h. 124
[10] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. Hal. 517
[12] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of  Science. Hal. 305

[13] Sutardjo A. Wiramihardja, loc.cit. hal. 132

[14] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard, and John Woods. Ebook of General Philosophy of Science. Hal.516
[16] Ibid
[17] Dov. M. Gabbay, loc.cit. hal.66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar