Disusun Dalam Rangka Pemenuhan
Tugas Mandiri
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
DOSEN PENGAMPU
Dr. Endang Koenmarjati, M.Pd.
Dr. Hanif Pujiati
Disusun
O
L
E
H
Iis Sujarwati
7316110147
PROGRAM
PENDIDIKAN BAHASA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Kajian Metafisika menjelaskan studi
keberadaan atau realitas yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah surga dan neraka itu ada? Apa tempat
manusia di dalam semesta?
Mengapa manusia perlu mengkaji
metafisika? Manusia secara tidak sadar selalu memiliki rasa ingin tahu tentang asal
atau hakekat objek (fisik) di dunia. Setiap pengetahuan yang diketahui oleh
manusia membutuhkan penafsiran-penafsiran secara ilmu pengetahuan.
Bagaimana keberadaan Metafisika dalam
Ilmu Pengetahuan? Membicarakan realitas sebuah objek seperti adanya Tuhan,
masalah adanya surga dan neraka dalam kematian, keberadaan antara dunia dan
akherat, merupakan kegiatan yang tidak ada ujung pangkalnya karena masalah yang
dikaji tidak dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan. Ilmu pengetahuan berupaya
memecahkan masalah-masalah yang ada dengan konsepsi teoritis, asumsi, postulat,
tesis. paradigm baru, dan pemecahan masalah yang baru, serta imajinasi akan
dapat membuka kemungkinan-kemungkinan atau peluang-peluang untuk mendapatkan
jawabannya.
Bagaimana manfaat metafisika dalam ilmu
pengetahuan? Keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan banyak
wawasan bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah lebih
jauh konsep keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan
menganalisis. Hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas
baru. Aplikasi dalam ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan, antar disiplin ilmu,
sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.
B.
Fokus
Bahasan
Terkait dengan pembahasan
sebelumnya yang menjadi ilustrasi bahwa ontologi merupakan salah satu aspek
penting dari filsafat yang memberikan substansi keilmuan yang nyata dalam
mengkaji seluruh dimensi kehidupan. Sehingga ruang lingkup pembahasannyapun
menjadi sangat dalam dan luas, dengan demikian penulis mencoba menentukan focus
kajian dalam penulisan ini adalah “Metafisika dalam ilmu pengetahuan“.
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk
memaparkan kajian metafisika yang merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji asal
atau hakekat objek (fisik) di dunia secara mendasar.
Secara khusus tujuan penulisan ini untuk mengkaji:
1.
Perlunya manusia mengkaji metafisika
2.
Keberadaan Metafisika dalam Ilmu
Pengetahuan (ontology dan epistemology)
3.
Manfaat metafisika dalam ilmu
pengetahuan (aksiology)
D.
Manfaat Penulisan
Tulisan ini diharapkan memberikan
manfaat bagi seluruh pembaca guna menambah wawasan pemikiran dalam memahami metafisika
secara filsafati. Sepatutnya kajian keilmuan atau
wacana ilmiah yang merupakan pelajaran penting dikalangan perguruan tinggi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Metafisika
1.
Pengertian Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat
yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Dimana metafisika
mempersoalkan realitas dan dunia dengan segala struktur dan dimensinya. Apa
yang sungguh-sungguh ‘ada’ yang paling utama? Apakah itu ‘kehidupan’? apakah
itu ‘dunia fisik’?[1]
Apakah keseluruhan kenyataan itu tunggal atau majemuk? Apakah kenyataan itu
satu ragam ataukah bermacam ragam? Secara garis besar, pandangan filsafat
terkait dengan pokok soal tersebut dapat dikelompokan antara monisme dan
pluraisme, yang baik monisme maupun pluralisme dapat bersifat spiritualistis
ataupun materialistis.[2]
Menurut para pemikir metafisis seperti
Plato dan Aristoteles memberikan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah
yang dapat dipahami (intelligible) yang mana setiap aliran metafisika mengklaim
bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Seolah – olah
akal budi memiliki kualitas “ampuh” untuk menyibak semua realitas mendasar dari
segala yang ada.[3]
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling
abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling
“tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan
“apa yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa
sesuatu itu mungkin ataukah tidak. Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari
kajian metafisika secara terus menerus dipertanyakan, demikian juga validitas
klaim-klaimnya dan kegunaannya.[4]
Dengan demikian, metafisika adalah
bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi teori tentang realita.
2.
Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai
tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia
terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal
tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang
nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini
lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga
paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini sangat bertentangan dengan
paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam
tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan
yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.[5] Penganut
faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan menurut
hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon. Contoh: bola
bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya atau
disodok oleh tongkat bilyard.
B. Metafisika dalam
Ilmu Pengetahuan (ontology dan
epistemology)
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari
bahasa Yunani yaitu On/Ontos = ada, dan Logos = Ilmu. Jadi, Ontologi adalah
ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut Istilah, Ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, akan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstract.[6]sedangkan
menurut Jujun S. Suriassumantri dalam Pengantar Ilmu Dalam Persepektif mengatakan, ontology membahas apa yang ingin
kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[7]
Epistemologi
derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos,
theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai
masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan[8].
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang
bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum
(objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang
meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh
pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat.
Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa
yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang
benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat
menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan
dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat
diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Metafisika ternyata mendapat pertentangan
dari beberapa ilmuan, antara
lain adalah yang menganut paham positivism. Paham positivism logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna.[9] Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[10]
lain adalah yang menganut paham positivism. Paham positivism logis menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna.[9] Wittgenstein, 1921; Carnap, 1936/37; Ayer, 1946 dalam Ebook of General Philosopgy of Science menyatakan bahwa the statement of science is veryfiable and thus meaningful, those of metaphysic and all other kind of bad philosophy were not; they were just nonsense.[10]
Berikut adalah pendapat para ilmuwan
tentang Metafisika.[11] Alfred,
J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para
filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga
tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem
semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan
dengan pendapat Ayer tersebut. Dan Katsoff menyatakan bahwa sepertinya Ayer
berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya merupakan
pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan
bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke
dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan
dalam metafisika, yaitu; 1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari
dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia. 2).
Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak
hidup untuk mengalami pengalaman kematian.
3). Tuhan, Ia tidak menampakkan
diri-Nya di dunia. Dengan demikian
Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara
logis sebaiknya didiamkan saja. Namun
pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan
perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan
ilmiahnya.
Manfaat
metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh Thomas S. Kuhn yakni ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman
personal, dan metafisika, misalnya adalah upaya-upaya untuk memecahkan masalah
yang tak dapat dipecahkan oleh paradigm keilmuan yang lama dan selama ini
dianggap mampu memecahkan masalah dan membutuhkan paradigm baru, pemecahan
masalah baru, hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil perenungan metafisik yang
dalam banyak hal memang bersifat spekulatif dan intuitif, hingga dengan
kedalaman kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan
atau peluang-peluang konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis dan paradigm
baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Sumbangan metafisika terhadap ilmu
pengetahuan tidak dapat disangkal lagi adalah pada fundamental ontologisnya. Sumbangan
metafisika pada ilmu pengetahuan adalah persinggunggan antara metafisika dan
ontology dengan epistimologi. Dalam metafisika yang mempertanyakan apakah
hakikat terdalam dari kenyataan yang diantaranya dijawab bahwa hakikat terdalam
dari kenyataan adalah materi, maka munculah paham materialism, sedangkan dalam
epistimologi yang dimulai dari pertanyaan bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? Descartes telah menjelaskan bahwa kita memperoleh pengetahuan
melalui akal dan dari pemikiran tersebut maka munculah rasionalisme. Sedangkan John
Locke telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa pengetahuan diperoleh dari
pengalaman, maka ia telah melahirkan aliran empirisme.[12] Sedangkan
berbagai perdebatan lainnya dalam metafisika mengenai realitas, ada tidak dan
lainnya sebagaimana telah dikemukan di dalam telah melahirkan berbagai
pandangan berbeda satu sama lain secara otomatis juga melahirkan berbagai
aliran pemahaman yang lazim dinyatakan sebagai aliran-aliran filsafat awal,
ketika pemahaman-pemahaman aliran-aliran filsafat tersebut dipertemukan dengan
ranah epistimologi atau dihadapkan pada fenomena dinamika perkembangan illmu
pengetahuan.
Metafisika menuntut orisinalitas berpikir
yang biasanya muncul melalui kontemplasi atau intuisi berupa kilatan-kilatan
mendadak akan sesuatu, hingga menjadikan para metafisikus menyodorkan cara
berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang
khas. Situasi semacam ini dinyatakan oleh Van Peursen sangat diperlukan untuk
pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. Berkaitan dengan
pembentukan minat intelektual, maka metafisika mengajarkan mengenai cara
berpikir yang serius dan mendalam tentang hakikat-hakikat segala sesuatu yang
bersifat enigmatik, hingga pada akhirnya melahirkan sikap ingin tahu yang
tinggi sebagaimana mestinya dimiliki oleh para intelektual. Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama sebagai
kebenaran yang paling akhir.
C. Manfaat Metafisika bagi
Pengembangan Ilmu (aksiology)
Axiologi
(teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu
pengetahuan bagi manusia[13]. Aksiologi
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah
nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral
sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Pembahasan yang mendalam tentang
keberadaan metafisika dalam ilmu pengetahuan memberikan banyak wawasan
bagaimana metafisika merupakan hal substantive dalam menelaah lebih jauh konsep
keilmuan dalam menunjang kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis.
Sehingga manfaat yang mutlak terhadap pengembangan ilmu dipaparkan Kuhn bahwa
kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigm ilmiah, ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok
dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan
historis serta metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah
ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru. [14]
Selanjutnya Kennick juga mengungkapkan
bahwa metafisika mengajarkan cara berfikir yang serius, terutama dalam menjawab
problem yang bersifat enigmatif (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa
ingin tahu yang mendalam.[15] Perdebatan
dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream seperti : Monisme,
Dualisme, Pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya
percabangan ilmu.
Sementara Van Peursen mengatakan bahwa
metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus
menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology
filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu
dalam rangka menerapkan heuristika.[16] Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First
Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam dunia filsafat adalah
bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode
skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang
bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis
Rene Descartes.[17]
Disamping itu Bakker mengemukakan
bahwasanya metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara
pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa
komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis,
tetepi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas
keilmuwan.
BAB
III
KESIMPULAN
Konsep keilmuan semestinya
mengalami proses panjang dalam menemukan suatu esensi yang bernilai untuk
dikaji dan apa semestinya yang menjadi kajian penting dalam suatu disiplin
ilmu. Dalam hal ini memberikan kesimpulan bahwa:
Pertama
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau
hakekat objek (fisik) di dunia yang didasarkan pada faham Supranaturalisme,
naturalisme, dualistik serta paham-paham yang dilahirkannya.
Kedua,
Metafisika dalam Ilmu Pengetahuan mencari kebenaran yang paling akhir untuk
mendapatkan pengetahuan/fundamental ontologisnya dan Epistimoliginya sebagai
cara yang digunakan mendapatkan pengetahuannya.
Ketiga,
Manfaat Metafisika, aksiology, dalam Ilmu untuk menelaah lebih jauh konsep
keilmuan yang selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru dalam menunjang
kejayaan manusia dalam berfikir dan menganalisis.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Zainal. Filsafat Manusia. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2006.
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011.
S.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2007.
S.
Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu Dalam
Persepektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Siswanto, Joko. Metafisika Sistematik. Yogyakarta:
Penerbit Taman Pustaka Kristen, 2004.
Psillos,
Stathis. Ebook Philosophy of Science A-Z.
Britain: Edinburg University Press, 2007.
Gabbay,
Dov. M, dkk. Ebook of General Philosophy
of Science. Netherland: North-Holland – Elsevier, 2007.
Hunnex,
MD. Chronological and Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher,
Michigan: academie, 2007.
http://mochammadirfan99.com/2010/12/makalah-ontologi-ilmu-pengetahuan.html
http://www.metafisika.html. dalam makalah
imanudin, Filsafat Metafisika, 2010.
Baker,
Anton. Ontologi, Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Wiramihardja,
Sutardjo A. Pengantar Filsafat.
Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006.
[1] Hunnex, MD. Chronological and
Thematic Charts Of Philosophies and Philosopher (Michigan: academie Books, 1986)
h. 15.
[2] Anton Baker, Ontologi,
Metafisika Umum : Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan (Yogyakarta:
Kanisius, 1992) h. 25-26.
[3] http://www.metafisika.html.
dalam makalah imanudin, Filsafat
Metafisika, 2010. h. 4.
[4] Hamlyn, DW, “Metaphysics,
History Of”, dalam Honderich, ed., 1993, h. 556 dalam makalah Sindung Tjahyadi,
Metafisika : Sebuah Kencan Singkat di Akhir Mei 2008, h. 1
[5] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Edisi Revisi (Bandung,
PT Remaja Rosda Karya, 2006), hal.26
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 134d
[7] Jujun S. Suriasumantri, Tentang
Hakikat, dalam Ilmu dalam Persepektif dalam Amsal Bahtiar, Filsafat IIlmu, Edisin Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2011) h. 133.
[8]
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Jakarta: PT. Refika
Aditama, 2006)h. 124
[10] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard,
and John Woods. Ebook of General
Philosophy of Science. Hal. 517
[11] http://mochammadirfan99.com/2010/12/makalah-ontologi-ilmu-pengetahuan.html
[12] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard,
and John Woods. Ebook of General
Philosophy of Science. Hal. 305
[13]
Sutardjo A. Wiramihardja, loc.cit. hal. 132
[14] Dov. M. Gabbay, Paul Thagard,
and John Woods. Ebook of General
Philosophy of Science. Hal.516
[15] http://mochammadirfan99.com/2010/12/makalah-ontologi-ilmu-pengetahuan.html
[16] Ibid
[17] Dov. M. Gabbay, loc.cit. hal.66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar